Rabu, 06 Mei 2015

Asal-Usul Bali dan Pura Besakih Maha Rsi Markandeya dan Orang Bali Aga

Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh wilayah Bali. Mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan Jro-jronya (pemimpin-pemimpinnya masing-masing). Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi desa-desa di Bali mereka adalah Orang Bali Mula, dan mereka dikenal dengan nama Pasek Bali.




Ketika itu, orang-orang Bali mula belum menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan Hyang. Menurut para ahli, kondisi spiritual masyarakat Bali pada saat itu masih kosong. Keadaan yang demikan ini berlangsung hingga awal tarih masehi kurang lebih sekitar abad pertama masehi. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan orang-orang dari luar Bali ke pulau ini. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Untuk hal tersebut datanglah seorang rsi ke Bali yang bernama Maharsi Markandeya.

Menurut sumber–sumber berupa lontar, sastra, dan purana, Maharsi Markandeya berasal dari India. Seperti dinyatakan sebagai berikut dalam Markandeya Purana, “Sang Yogi Markandeya kawit hana saking Hindu” yang artinya “sang yogi Markandeya asal mulanya adalah dari India”. Dari data-data yang di dapatkan nama Markandeya bukan nama perorarangan, melainkan adalah nama perguruan atau nama pasraman seperti halnya juga nama Agastya. Perguruan atau pasraman adalah lembaga yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran dari guru-guru sebelumnya. Kebiasaan secara tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi untuk melanjutkan tradisi dari guru sebelumnya, yaitu dari guru ke murid dan seterusnya. Garis perguruan turun temurun ini di sebut Parampara, dan tiap-tiap parampara menyusun pokok-pokok ajarannya, dari parampara yang telah mengangkat guru dan murid untuk melanjutkan garis perguruan ini dinamakan Sampradaya. Dari tiap-tiap sampradaya menyusun pokok-pokok ajarannya dari sumber-sumber yaitu, Catur Weda, Purana, Upanisad, Wedanta Sutra, dan Itihasa. Walaupun memiliki pandangan yang berbeda, namun mereka mengambilnya dari Weda dengan tradisi turun-temurun yang sama dalam menafsirkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran di dalam Weda. Demikian akhirnya, pustaka-pustaka suci tersebut disebarkan, dimana di antaranya adalah Markandeya Purana, Garuda Purana, Siva Purana, Vayu purana, Visnu Purana dan lain sebagainya. Bahkan dari tiap generasi ke generasi terdapat nama diksa (inisiasi) yang sama dengan nama pendahulunya. Jadi sang Maharsi Markandeya adalah seorang rsi dari garis perguruan yang namanya sama dengan nama pendahulunya di India, beliau datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu, terutama paham Waisnava (pemuja Wisnu).

Ketika tiba di Indonesia, Maharsi Markandeya berasrama di wilayah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Lalu beliau ber-dharmayatra ke arah timur, dan tibalah di Gunung Raung, Jawa Timur. Disini beliau membuka pasraman dimana beliau di dampingi oleh murid-murid beliau yang di sebut Wong Aga (orang-orang pilihan). Beberapa tahun kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur, tepatnya ke pulau Bali yang ketika itu masih kosong secara spiritual. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, beliau juga ingin mengajarkan teknik-teknik pertanian secara teratur, bendungan atau sistem irigasi, peralatan untuk yajna dan lain-lain. Perjalanan beliau diiringi oleh 800 orang murid-muridnya.

Saat datang pertama kali ke Bali, beliau datang ke Gunung Tohlangkir. Disana beliau dan murid-muridnya merabas hutan untuk lahan pertanian, tetapi sayangnya banyak murid-muridnya terkena penyakit aneh tanpa sebab, ada juga yang meninggal diterkam binatang buas seperti mranggi (macan), ada yang hilang tanpa jejak, bahkan ada yang gila. Melihat keadaan demikian, Maharsi Markandeya memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung, lalu beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang menimpa murid-muridnya ketika ke Bali. Akhirnya beliau mendapatkan petunjuk bahwa terjadinye bencana tersebut adalah karena beliau tidak melaksanakan yajna sebelum membuka hutan itu.

Setelah mendapatkan petunjuk, Maharsi Markandeya kembali lagi datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang muridnya. Tapi sebelum merabas hutan dan kembali mengambil pekerjaan sebelumnya, Maharsi Markandeya melakukan upacara ritual, berupa yajna, agni hotra, dan menanam panca datu di lereng Gunung Tohlangkir, Nyomia, dan upacara Waliksumpah untuk menyucikan dan mengharmoniskan tempat tersebut. Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandeya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama Basukian dan dalam perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Dan Maharsi Markandeya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Tidak hanya itu saja, Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci,  dan dikemudian hari dikenal dengan nama Bali Dwipa atau sekarang dikenal dengan nama Bali, dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau korban suci. Setelah beberapa tahun lamanya beliau akhirnya menuju arah barat untuk melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu daerah datar dan luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya merebas hutan. Wilayah yang datar dan luas itu dinamakan Puwakan, kemudian dari kata puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak.

Di tempat ini beliau menanam berbagai jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada. Karena keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Tuhan lewat perantara sang maharsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun, kayu bahasa sansekertanya taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan nama Taro dikemudian hari, yang terletak di kabupaten Gianyar. Di wilayah ini Maharsi Markandeya mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasramannya di gunung raung. Pura ini dinamakan Pura Gunung Raung, bahkan hingga saat ini di bukit tempat beliau beryoga juga di dirikan sebuah pura yang kemudian dinamakan Pura Luhur Payogan, yang letaknya di Campuan, Ubud. Pura ini juga disebut pura Gunung Lebah. Selanjutnya Mahasri Markandeya pergi ke arah barat dari arah Payogan dan kemudian membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa, sedangkan wilayahnya dan sebagainya di beri nama Parahyangan kemudian orang-orang menyebutnya dengan sebutan Pahyangan. Dan sekarang tempat tersebut dikenal dengan Payangan.

Orang-orang Aga, murid-murid maha rsi markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh beliau, mereka membaur dengan orang-orang Bali mula, bertani dan bercocok tanam dengan cara yang sangat teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang di ajarkan oleh Maharsi Markanadeya. Dengan cara demikian terjadilah pembauran orang-orang Bali mula dan orang-orang Aga, kemudian dari pembauran ini mereka dikenal dengan nama Bali Aga yang berarti pembauran penduduk bali mula dengan orang-orang aga, murid Maharsi Markandeya,  dengan adanya hal ini, maka Hindu dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali mula ketika itu. Sebagai rohaniawan (pandita) orang-orang Bali Aga dimana Maharsi Markandeya menjadi pendirinya, maka orang-orang Bali Aga dikenal dengan nama Warga Bhujangga Waisnava.

Dalam jaman kerajaan Bali, terutama zaman Dinasti Warmadewa. Warga Bhujangga Waisnsava selalu menjadi purohito (pendeta utama kerajaan) yang mendampingi raja, antara lain Mpu Gawaksa yang dinobatkan oleh sang ratu Sri Adnyadewi tahun 1016 M, sebagai pengganti Mpu Kuturan. Ratu Sri Adnyadewi pula yang memberikan wewenang kepada sang guru dari Warga Bhujangga Waisnava untuk melaksanakan upacara Waliksumpah ke atas, karena beliau mampu membersihkan segala noda di bumi ini, bahkan sang ratu mengeluarkan bhisama kepada seluruh rakyatnya yang berbunyi : “Kalau ada rsi atau wiku yang meminta-minta, peminta tersebut sama dengan pertapa, jika tidak ada orang yang memberikan derma kepada petapa itu, bunuhlah dia dan seluruh miliknya harus diserahkan kepada pasraman. Dan apa bila terjadi kekeruhan di kerajaan dan di dunia, harus mengadakan upacara Tawur, Waliksumpah, Prayascita (menyucikan orang-orang yang berdosa), Nujum, orang-orang yang mengamalkan ilmu hitam haruslah sang guru Bhujangga Waisnava yang menyucikannya, sebab sang guru Bhujangga Waisnava seperti angin, bagaikan Bima dan Hanoman, itu sebabnya juga sang guru Bhujangga Waisnava berkewajiban menyucikan desa, termasuk hutan, lapangan, jurang. Oleh karena sang guru Bhujangga Waisnava sebaik Bhatara Guru, boleh menggunakan segala-galanya dan dapat melenyapkan hukuman”.

Kemudian pada masa pemerintahan Sri Raghajaya tahun 1077 M yang diangkat menjadi purohito kerajaan adalah Mpu Andonamenang dari keluarga Bhujangga Vaisnava. Lalu Mpu Atuk di masa pemerintahan raja Sri Sakala Indukirana tahun 1098 M, kemudian Mpu Ceken pada masa pemerintahan raja Sri Suradipha tahun 1115–1119 M, kemudian Mpu Jagathita pada masa pemerintahan Sri Jayapangus tahun 1148 M. Untuk raja-raja selanjutnya selalu ada seorang purohito raja yang diambil dari keluarga Bhujangga Waisnava dan seterusnya hingga masa pemerintahan Sri Dalem Waturenggong di Bali. Saat itu yang menjadi purohito adalah dari griya Takmung dimana beliau melakukan kesalahan selaku acharya kerajaan yang telah mengawini Dewi Ayu Laksmi yang tidak lain adalah putri Dalem sendiri selaku sisyanya. Atas kesalahannya ini sang guru Bhujangga akan dihukum mati, tapi beliau segera menghilang dan kemudian menetap di daerah Buruan dan Jatiluwih, Tabanan.

Semenjak kejadian tersebut, dalem tidak lagi memakai purohito dari Bhujangga Waisnava. Sejak itu dan setelah kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi purohito di ambil alih oleh Brahmana Siwa dan Budha. Bahkan setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang Nirartha atas persetujuan Dalem, keluarga Bhujanggga Waisnava tidak dimasukkan lagi sebagai warga brahmana. Namun peninggalan kebesaran Bhujangga Waisnava dalam perannya sebagai pembimbing awal masyarakat Bali, terutama dari kalangan Bali Mula dan Bali Aga masih terlihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali Aga, selalu ada sebuah pelinggih sebagai sthana Bhatara Sakti Bhujangga. Alat-alat pemujaan selalu siap pada pelinggih itu. Orang-orang Bali Aga/Mula cukup nuhur tirtha, tirtha apa saja, terutama tirta pengentas adalah melalui pelinggih ini. Sampai sekarang para warga ini tidak pernah/berani mempergunakan atau nuhur Pedanda Siva. Selain itu, para warga ini tidak pernah mempersembahkan sesajen dari daging ketika diadakan pujawali dan biasanya mereka menggunakan daun kelasih sebagai salah satu sarana persembahan selain bunga, air, api dan buah.

Warga Bhujangga Waisnava, keturunan Maharsi Markandeya sekarang sudah tersebar di seluruh Bali, pura pedharmannya ada di sebelah timur penataran agung Besakih di sebelah tenggara pedharman Dalem. Demikian juga pura-pura kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti di Takmung, kabupaten Klungkung, Batubulan, kabupaten Gianyar, Jatiluwih di kabupaten Tabanan dan di beberapa tempat lain di Bali.
Demikianlah Maharsi Markandeya, leluhur Warga Bhujangga Waisnava penyebar agama Hindu pertama di Bali dan warganya hingga saat ini ada yang melaksanakan dharma kawikon dengan gelar Rsi Bhujangga Waisnava. Sedangkan orang-orang Aga beserta keturunakannya telah membaur dengan orang-orang Bali Mula atau penduduk asli Bali keturunan Bangsa Austronesia, dan mereka dikenal dengan nama orang-orang Bali Aga.

Sumber: I Gede Agus Suprapto
sumber :  https://hyangsari.wordpress.com/asal-usul-bali-dan-pura-besakih/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar