Ketika itu, orang-orang Bali mula belum
menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan
Hyang. Menurut para ahli, kondisi spiritual masyarakat Bali pada saat
itu masih kosong. Keadaan yang demikan ini berlangsung hingga awal tarih
masehi kurang lebih sekitar abad pertama masehi. Dengan keadaan Bali
yang demikian maka mulailah berdatangan orang-orang dari luar Bali ke
pulau ini. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka juga ingin
memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Untuk hal tersebut
datanglah seorang rsi ke Bali yang bernama Maharsi Markandeya.
Menurut sumber–sumber berupa lontar,
sastra, dan purana, Maharsi Markandeya berasal dari India. Seperti
dinyatakan sebagai berikut dalam Markandeya Purana, “Sang Yogi
Markandeya kawit hana saking Hindu” yang artinya “sang yogi Markandeya
asal mulanya adalah dari India”. Dari data-data yang di dapatkan nama
Markandeya bukan nama perorarangan, melainkan adalah nama perguruan
atau nama pasraman seperti halnya juga nama Agastya. Perguruan atau
pasraman adalah lembaga yang mempelajari dan mengembangkan
ajaran-ajaran dari guru-guru sebelumnya. Kebiasaan secara tradisi yang
diturunkan dari generasi ke generasi untuk melanjutkan tradisi dari
guru sebelumnya, yaitu dari guru ke murid dan seterusnya. Garis
perguruan turun temurun ini di sebut Parampara, dan tiap-tiap parampara
menyusun pokok-pokok ajarannya, dari parampara yang telah mengangkat
guru dan murid untuk melanjutkan garis perguruan ini dinamakan
Sampradaya. Dari tiap-tiap sampradaya menyusun pokok-pokok ajarannya
dari sumber-sumber yaitu, Catur Weda, Purana, Upanisad, Wedanta Sutra,
dan Itihasa. Walaupun memiliki pandangan yang berbeda, namun mereka
mengambilnya dari Weda dengan tradisi turun-temurun yang sama dalam
menafsirkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran di dalam Weda. Demikian
akhirnya, pustaka-pustaka suci tersebut disebarkan, dimana di
antaranya adalah Markandeya Purana, Garuda Purana, Siva Purana, Vayu
purana, Visnu Purana dan lain sebagainya. Bahkan dari tiap generasi ke
generasi terdapat nama diksa (inisiasi) yang sama dengan nama
pendahulunya. Jadi sang Maharsi Markandeya adalah seorang rsi dari
garis perguruan yang namanya sama dengan nama pendahulunya di India,
beliau datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu, terutama
paham Waisnava (pemuja Wisnu).
Ketika tiba di Indonesia, Maharsi
Markandeya berasrama di wilayah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Lalu
beliau ber-dharmayatra ke arah timur, dan tibalah di Gunung Raung, Jawa
Timur. Disini beliau membuka pasraman dimana beliau di dampingi oleh
murid-murid beliau yang di sebut Wong Aga (orang-orang pilihan).
Beberapa tahun kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur, tepatnya
ke pulau Bali yang ketika itu masih kosong secara spiritual.
Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, beliau juga ingin mengajarkan
teknik-teknik pertanian secara teratur, bendungan atau sistem
irigasi, peralatan untuk yajna dan lain-lain. Perjalanan beliau
diiringi oleh 800 orang murid-muridnya.
Saat datang pertama kali ke Bali, beliau
datang ke Gunung Tohlangkir. Disana beliau dan murid-muridnya merabas
hutan untuk lahan pertanian, tetapi sayangnya banyak murid-muridnya
terkena penyakit aneh tanpa sebab, ada juga yang meninggal diterkam
binatang buas seperti mranggi (macan), ada yang hilang tanpa jejak,
bahkan ada yang gila. Melihat keadaan demikian, Maharsi Markandeya
memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung, lalu beliau beryoga untuk
mengetahui bencana yang menimpa murid-muridnya ketika ke Bali. Akhirnya
beliau mendapatkan petunjuk bahwa terjadinye bencana tersebut adalah
karena beliau tidak melaksanakan yajna sebelum membuka hutan itu.
Setelah mendapatkan petunjuk, Maharsi
Markandeya kembali lagi datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir.
Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang muridnya. Tapi sebelum merabas
hutan dan kembali mengambil pekerjaan sebelumnya, Maharsi Markandeya
melakukan upacara ritual, berupa yajna, agni hotra, dan menanam panca
datu di lereng Gunung Tohlangkir, Nyomia, dan upacara Waliksumpah untuk
menyucikan dan mengharmoniskan tempat tersebut. Demikianlah akhirnya
semua pengikut beliau selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena
itu, Maharsi Markandeya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan
nama Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama Basukian dan dalam
perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama
Basuki yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal
dengan nama Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di
dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Dan Maharsi
Markandeya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung.
Tidak hanya itu saja, Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau ini
dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci, dan
dikemudian hari dikenal dengan nama Bali Dwipa atau sekarang dikenal
dengan nama Bali, dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan
melaksanakan persembahan yajna atau korban suci. Setelah beberapa
tahun lamanya beliau akhirnya menuju arah barat untuk melanjutkan
perjalanan dan sampai di suatu daerah datar dan luas, sekaligus hutan
yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya merebas hutan.
Wilayah yang datar dan luas itu dinamakan Puwakan, kemudian dari kata
puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan akhirnya
menjadi Subak.
Di tempat ini beliau menanam berbagai
jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan
dengan baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan Sarwada yang artinya
serba ada. Karena keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Tuhan lewat
perantara sang maharsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun, kayu bahasa
sansekertanya taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan
nama Taro dikemudian hari, yang terletak di kabupaten Gianyar. Di
wilayah ini Maharsi Markandeya mendirikan pura sebagai kenangan terhadap
pasramannya di gunung raung. Pura ini dinamakan Pura Gunung Raung,
bahkan hingga saat ini di bukit tempat beliau beryoga juga di dirikan
sebuah pura yang kemudian dinamakan Pura Luhur Payogan, yang letaknya di
Campuan, Ubud. Pura ini juga disebut pura Gunung Lebah. Selanjutnya
Mahasri Markandeya pergi ke arah barat dari arah Payogan dan kemudian
membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa, sedangkan wilayahnya
dan sebagainya di beri nama Parahyangan kemudian orang-orang
menyebutnya dengan sebutan Pahyangan. Dan sekarang tempat tersebut
dikenal dengan Payangan.
Orang-orang Aga, murid-murid maha rsi
markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh beliau, mereka membaur
dengan orang-orang Bali mula, bertani dan bercocok tanam dengan cara
yang sangat teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang di ajarkan
oleh Maharsi Markanadeya. Dengan cara demikian terjadilah pembauran
orang-orang Bali mula dan orang-orang Aga, kemudian dari pembauran ini
mereka dikenal dengan nama Bali Aga yang berarti pembauran penduduk
bali mula dengan orang-orang aga, murid Maharsi Markandeya, dengan
adanya hal ini, maka Hindu dapat diterima dengan baik oleh orang-orang
Bali mula ketika itu. Sebagai rohaniawan (pandita) orang-orang Bali
Aga dimana Maharsi Markandeya menjadi pendirinya, maka orang-orang
Bali Aga dikenal dengan nama Warga Bhujangga Waisnava.
Dalam jaman kerajaan Bali, terutama
zaman Dinasti Warmadewa. Warga Bhujangga Waisnsava selalu menjadi
purohito (pendeta utama kerajaan) yang mendampingi raja, antara lain Mpu
Gawaksa yang dinobatkan oleh sang ratu Sri Adnyadewi tahun 1016 M,
sebagai pengganti Mpu Kuturan. Ratu Sri Adnyadewi pula yang memberikan
wewenang kepada sang guru dari Warga Bhujangga Waisnava untuk
melaksanakan upacara Waliksumpah ke atas, karena beliau mampu
membersihkan segala noda di bumi ini, bahkan sang ratu mengeluarkan
bhisama kepada seluruh rakyatnya yang berbunyi : “Kalau ada rsi atau
wiku yang meminta-minta, peminta tersebut sama dengan pertapa, jika
tidak ada orang yang memberikan derma kepada petapa itu, bunuhlah dia
dan seluruh miliknya harus diserahkan kepada pasraman. Dan apa
bila terjadi kekeruhan di kerajaan dan di dunia, harus mengadakan
upacara Tawur, Waliksumpah, Prayascita (menyucikan orang-orang yang
berdosa), Nujum, orang-orang yang mengamalkan ilmu hitam
haruslah sang guru Bhujangga Waisnava yang menyucikannya, sebab sang
guru Bhujangga Waisnava seperti angin, bagaikan Bima dan Hanoman, itu
sebabnya juga sang guru Bhujangga Waisnava berkewajiban menyucikan
desa, termasuk hutan, lapangan, jurang. Oleh karena sang guru Bhujangga
Waisnava sebaik Bhatara Guru, boleh menggunakan segala-galanya dan
dapat melenyapkan hukuman”.
Kemudian pada masa pemerintahan Sri
Raghajaya tahun 1077 M yang diangkat menjadi purohito kerajaan adalah
Mpu Andonamenang dari keluarga Bhujangga Vaisnava. Lalu Mpu Atuk di masa
pemerintahan raja Sri Sakala Indukirana tahun 1098 M, kemudian Mpu
Ceken pada masa pemerintahan raja Sri Suradipha tahun 1115–1119 M,
kemudian Mpu Jagathita pada masa pemerintahan Sri Jayapangus tahun 1148
M. Untuk raja-raja selanjutnya selalu ada seorang purohito raja yang
diambil dari keluarga Bhujangga Waisnava dan seterusnya hingga masa
pemerintahan Sri Dalem Waturenggong di Bali. Saat itu yang menjadi
purohito adalah dari griya Takmung dimana beliau melakukan kesalahan
selaku acharya kerajaan yang telah mengawini Dewi Ayu Laksmi yang tidak
lain adalah putri Dalem sendiri selaku sisyanya. Atas kesalahannya ini
sang guru Bhujangga akan dihukum mati, tapi beliau segera menghilang
dan kemudian menetap di daerah Buruan dan Jatiluwih, Tabanan.
Semenjak kejadian tersebut, dalem tidak
lagi memakai purohito dari Bhujangga Waisnava. Sejak itu dan setelah
kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi purohito di ambil alih
oleh Brahmana Siwa dan Budha. Bahkan setelah strukturisasi masyarakat
Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang Nirartha atas persetujuan
Dalem, keluarga Bhujanggga Waisnava tidak dimasukkan lagi sebagai warga
brahmana. Namun peninggalan kebesaran Bhujangga Waisnava dalam
perannya sebagai pembimbing awal masyarakat Bali, terutama dari
kalangan Bali Mula dan Bali Aga masih terlihat sampai sekarang. Pada
tiap-tiap pura dari masyarakat Bali Aga, selalu ada sebuah pelinggih
sebagai sthana Bhatara Sakti Bhujangga. Alat-alat pemujaan selalu siap
pada pelinggih itu. Orang-orang Bali Aga/Mula cukup nuhur tirtha,
tirtha apa saja, terutama tirta pengentas adalah melalui pelinggih
ini. Sampai sekarang para warga ini tidak pernah/berani mempergunakan
atau nuhur Pedanda Siva. Selain itu, para warga ini tidak pernah
mempersembahkan sesajen dari daging ketika diadakan pujawali dan
biasanya mereka menggunakan daun kelasih sebagai salah satu sarana
persembahan selain bunga, air, api dan buah.
Warga Bhujangga Waisnava, keturunan
Maharsi Markandeya sekarang sudah tersebar di seluruh Bali, pura
pedharmannya ada di sebelah timur penataran agung Besakih di sebelah
tenggara pedharman Dalem. Demikian juga pura-pura kawitannya tersebar di
seluruh Bali, seperti di Takmung, kabupaten Klungkung, Batubulan,
kabupaten Gianyar, Jatiluwih di kabupaten Tabanan dan di beberapa tempat
lain di Bali.
Demikianlah Maharsi Markandeya, leluhur
Warga Bhujangga Waisnava penyebar agama Hindu pertama di Bali dan
warganya hingga saat ini ada yang melaksanakan dharma kawikon dengan
gelar Rsi Bhujangga Waisnava. Sedangkan orang-orang Aga beserta
keturunakannya telah membaur dengan orang-orang Bali Mula atau penduduk
asli Bali keturunan Bangsa Austronesia, dan mereka dikenal dengan nama
orang-orang Bali Aga.
Sumber: I Gede Agus Suprapto
sumber : https://hyangsari.wordpress.com/asal-usul-bali-dan-pura-besakih/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar