Sabtu, 30 Mei 2015

Babad Arya Dauh Bale Agung


              Sebelum pemerintahan kolonial Belanda menguasai bali, kerajaan bali diperintah oleh seorang raja dari dinasti Sri Kresna Kapakisan, yang abhiseka dalem, yang bertakhta terakhir di Gelgel yang merupakan pusat pemerintahan dan pemegang hegomoni di balidwipa. Raja bali itu berstatus dan berkedudukan sebagai adipati kerajaan Majapahit, yang di pimpin oleh seorang mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada, Yang termasur. Di Balidwipa yang menjadi raja waktu itu adalah Dalem Waturenggong, yang berkedudukan dan beristana di Gelgel. Pada masa pemerintahan Dalem waturenggong, (1460-1550), Bali mengalami masa keemasan,sehingga wakula balidwipa pada waktu itu betul-betul dapat mengalami dan menikmati santajagathita, sakala dan niskala. Keadaan dan kondisi balidwipa yang dapat dicapai seperti itu, berkat kebijakan Dalem Waturenggong memutar roda pemerintahan serta memajukan berbagai aspek kehidupan. 


Di samping karena kebijakan dan keadilan Dalem Waturenggon, saat memutar roda pemerintahan balidwipa, juga karena didampingi oleh para patih yang cakap, diantaranya rakryang Patih penulisan dauh bale agung, yang kalau dibandingkan dengan struktur dan sistem pada era sekarang, dekta artinya dengan sekretaris negara. Sehingga dengan berpijak dari konsep ini, dapat di simpulkan bahwa Rakryan Patih panulisan dauh bale Agung, adalah seorang patih. Patih penulisan (dauh bale agung) tersebut jika di kaitkan dengan swaguna sire nararya dauh bale agung sebagai rakawi (penulis), pada era pemerintahan Dalem waturenggong itu. 


Banyak karya tulis rakryanpatih dauh baler Agung pada era itu, antara lain, arjuna pralabda, wukir pedelegan, anting-anting timah, dan sebagainya. Disamping itu, rakryan patih panulisan dauh bale agung, juga abhiseka bhagawan atau sri, setelah diniksa atau didwijati oleh Ida pedanda sakti bawu rawuh, yang juga disebut Dang Hyang Dwijendra atau Dang Hyang Nirarta, didesa mas pada waktu diutus oleh Dalem Waturenggong nuwur Ida pedanda Sakti Bawu Rawuh ke desa mas, untuk datang ke gelgel (swecapura).

              Untuk memperjelas nalar dan wawasan, perlu di ketahui bahwa rakryan patih penulisan dauh bale agung adalah arya kepakisan yang mendampingi sri kresna kepakisan pada waktu dikirim oleh maha patih amangkubhumi gajah mada kebali, pada Tahun 1352, yang kemudian berkedudukan sebagai maha patih. Urutan warih rakryan penulisan dauh bale agung sampai dengan wredhi-nya, (lahirnya) I Gusti Abian Nengan, yang dikenal juga I Gusti Dauh ring Ayun, adalah sebagai berikut :
*        Sira Nanraya Kapakisan
*        Sira NarayaNyuh Aya
*        Pangeran Akah


*        Rakryan Panulisan Dauh Bale Agung

*        Rakryan Pande Basa

*        I Gusti Wayahan Byasama & Permaisuri
*        ---------------- I Gusti Ayu Singharsa,
Yang nresti, (melahirkan) putra :

*        I Gusti Abian Nengah.
Yang dikenal pula abhiseka I Gusti Taman Nengah atau I Gusti Dauh Ring Ayun, yang setelah berkuasa kemudian di Bukit Buluh membangun Pura Garbha, sekitar tahun 1601 Masehi. Dengan mengetahui bahwa Sira NararyaKapakisan adalah merupakan leluhur Rakryan Panulisan Dauh Bale Agung, yang kemudian Warih-nya di Bali kemudian dikenal sebagai Arya Dauh. Eksistensi warih Rakryan panulisan Dauh Bale Agung, yang menurunkan I Gusti Abian Nengah (I Gusti Dauh Ring Ayun), yang mendirikan pura garbha sebagai parhyangan dan tonggak sejarah berlanjutnya warih Arya Dauh, sampai pada era sekarang, selaku pengejawantahan ajaran Trirnam dan dalam hal ini yang memiliki konstekstual dengan pitrarnam, (pembayaran hutang kepada Bhatara leluhur), sudah menjadi kewajiban setiap warih Arya Dauh, dimana pun tidak boleh melupakan pangupahayu Pura Garbha. Seperti persembahan dan pemujaan karya pamungkah, pamelaspas, pangeteg linggih atau panyegjeg bhumi, yang puncaknya sesuai dengan penetapan rahina subhadiwasanya oleh Wiku Mangaleng Karya, akan berlangsung pada Rahina Radite, Wara Matal, Pang Ping 1, Kresnapaksha, sasih katiga, saka warsa 1918, tanggal masehi 29 september 1996 tahun ini.


              Telah ditemukan bahwa pada era pemerintahan Dalem Waturenggong di gelgel, keadaan Balidwipa pada waktu itu sangat kuat, stabil dan adil. Tetapi sayang, pengganti Dalem Waturenggong, yakni Dalem Bekung, yang memerintah (1550-1580), adalah sangat lemah. Sehingga kondisi dan situasi gelgel yang sebelumnya, kuat, stabil dan adil mulai labil. Keadaan dan kondisi labil itu sampai terjadi, karena di sebabkan oleh berbagai intrik perebutan kekuasaan dan pemberontakan yang dilakukan oleh para patih Dalem Bekung sendiri. Yang membawa ekses kelabilan gelgel paling tragis ialah skandal seks, yang tergolong perbuatan dratikrama dan anyolong  smara, antara I Gusti Ngurah Telabah dengan salah seorang istri Dalem Bekung sendiri, yang abhiseka I Gusti Ayu Samantiga.


              Pada waktu pemerintahgan Dalem Bekung yang tergolong masih belia, telah terjadi antara dua bentrokan yang berturut-berturut, yakni pembentrokan batan jeruk, yang dapat dikalahkan,berkat bantuan dan kesetiaan para Arya pada Dalem Bekung. Setelah pembetrokan Batan Jeruk dapat dipadamkan, dengan terbunuhnya Batan Jeruk di bungaya pada tahun 1556, menyusul perang puputan untuk membela kebenaran dan keadilan antara pasukan Dalem Bekung yang di bantu oleh para Arya di lingkungan keraton gelgel, melawan pasukan Rakryan Pande Basa, yang di dukung oleh saudara-saudaranya. Kejadian pembentrokan yang merupakan Perang Puputan keluarga Dauh Pande Basa ini terjadi9 sekitar tahun 1578. Latar belakng terjadinya Perang Puputan diantara keluarga Rakryan Dauh Pande Basa, seperti telah di kemukakan adalah karena terjadinya skandal seks, dilingkungan Puri Gelgel, terjadi prilaku dratikrama dan anyolong smara antara I Gusti Ayu Samantiga, salah seorang istri dalem Bekung. Pada mulanya Dalem Bekung menghadiahkan sebentuk cicin yang bermata mulia kepada I Gusti Ayu Samantiga. Kemudian cincin hadiah raja itu, ketara telah dipakai oleh I Gusti Ngurah Telabah, yang kemudian di laporkan kepada Dalem Bekung. Kejadian itu menimbulkan kemurkaan dan kecemburuan Dalem Bekung, yang berdasarkan pemikiran anumana pramana, tentu I Gusti Ayu Samantigatelah berbuat serong dengan I Gusti Ngurah Telabah.


              Dalam kondisi kemarahan, yang campur aduk dengan ketersinggungan dan kejengkelan yang tak tertahankan, Dalem Bekung kemudian menugaskan seorang abdi Dalem, untuk memanggil Rakryan Dauh Pande Basa agar menghadap ke puri. Setelah Rakryan Dauh Pande Basa menghadap Dalem Bekung di puri, pada waktu itu Dalem Bekung mengungkapkan prilaku dratikrama I Gusti Ngurah Talabah dengan I Gusti Ayu Samantiga. Prilaku dratikrama I Gusti Ngurah Talabah itu patut mendapatkan hukuman yang setimpal. Hukuman yang di kehendaki oleh Dalem Bekung, harus di hukum mati ! tetapi pelaksanaannya harus rahasia. Tugas melaksanakan hukuman mati yang rahasia itu harus diselesaikan oleh Rakryan Dauh Pande Basa. Kerahasiaan yang sangat ketat itu perlu di jaga, karena Dalem Bekung pada dasarnya juga sangat takut kepada I Gusti Ngurah Talabah, karena keluarganya sangat besar berpengaruh, di samping memiliki pengikut yang kuat. Karena itu perintah Dalem, bagi Patih Rakryan Pande Basa, tidak ada jalan untuk menolaknya. Perintah Raja, adalah Tugas negara. Namun bagi Rakryan Patih Pande Basa, guna melaksanakan tugas yang sangat pelik dan berbahaya itu, betul-betul juga sangat di rahasiakan oleh Dalem. Untuk sama-sama yakin akan menjaga kerahasiaan tugas yang berat itu, Dalem dan Rakryan Patih Pande Basa, mengadakan sejenis supata matetuwek, semacam ikrar untuk tidak saling membocorkan rahasia itu, yang bertempat di taman sari. ikrar Dalem kepada Rakryan Patih Pande Basa, pada waktu itu berbunyi :


“......Yang Mulia Dewa di Gunung Agung, bila I Gusti Ngurah Telabah mati oleh Rakryan Pande Basa, bila saya mengingkari janji, agar Bhatara di Gunung Agung, melipatgandakan kesalahan saya, agar menerima segala neraka dunia....”
Di jawab oleh Rakryan Pande Basa :
“.......Yang Mulia Dewa di Gunung Agung, andai kata tidak terbunuh I Gusti Ngurah Talabah, berkat usaha saya, agar segala derita rakyat Balidwipa, semuanya saya yang menanggungnya, bersama-sama.......”


              Apa yang telah diikrarkan oleh Rakryan Patih Pande Basa, ternyata dapat terwujud dan tercapai. I Gusti Ngurah talabah terbunuh, oleh siasat Rakryan Patih Pande Basa, yang rapi dan sangat rahasia. Sehinggan kematian I gusti Ngurah Talabah akibat pembunuhan menjadi menjadi kabur. Tidak di ketahui pembunuhnya serta latar belakang terjadinya pembunuhan itu. Berkat kelihaian serta wiweka Rakryan Patih Pande Basa. Guna melaksanakan madurgama itu, Rakryan Patih Pande Basa, lalu memerintahkan seorang kepercayaannya, yang bernama Ki Capung, betapa upaya dan usaha yang di tempuh untuk melaksanakan pembunuhan I Gusti Ngurah Talabah. Untuk melaksanakan tugas yang berat itu, Rakryan Patih Pande Basa kemudian memberikan Ki Capung sebilah keris, yang bernama Ki Palangsoka.    


              Setelah di beri tugas yang dengan pesan agar Ki Capung sangat hati-hati dan merahasiakan sekali, kemudian Ki Capung segera mencari orang ke Kuta. Orang yang berasal dari kuta ini sangat dendam kepada I Gusti Ngurah Talabah. Setelah tinba di kuta dan bertemu dengan orang yang di carinya, Ki Capung segera memberikan petunjuk, agar membunuh I Gusti Ngurah talabah yang pernah menyiksanya, habis-habisan waktu dahulu. Setelah memberi petunjuk singkat, Ki Capung lalu memberikan keris Ki Palangsoka, sebagai senjata untuk menyelesaikan tugas berat dan rahasia itu. Orang kuta ini pun menyanggupi untuk melaksanakan tugas berat dan rahasia itu. Dia menjadi ingat betapa kejamnya I Gusti Ngurah Talabah waktu menyiksa dirinya dulu. Sekaranglah ada kesempatan untuk membalas dendam.   


              Dengan tiada membuang-buang waktu lagi, orang kuta itu langsung menuju puri I Gusti Ngurah talabah. Kebetulan I Gusti Ngurah Talabah pada waktu itu sedang berada di purinya. Tanpa pardon, orang dari kuta itu langsung menikamkan keris ki palangsoka ke dada I Gusti Ngurah Talabah. Setelah di perhatikan siapa yang meniukamnya pada waktu itu, betapa amarah dan dendam I Gusti Ngurah Talabah, karena orang yang menikamnya itu adalah orang kuta yang pernah disiksanya dulu. Di bakar oleh nafsu amarah dan dendam yang tak tertahankan sebelum menghembuskan nafas penghabisan I Gusti Ngurah Talabah sempat menikam orang kuta itu dengan keris tinjaklesung, sehingga menemu ajalnya pada waktu itu.


              Setelah I Gusti Ngurah Talabah terbunuh, Ki Capung segera melaporkan kepada Rakryan Patih Pande Basa, bahwa tugasnya telah dapat di tunaikan dan di selesaikan dengan baik. Demikian pula setelah menerima laporan dari Ki Capung, Rakryan Patih pande Basa segera menghadap ke puri swecapura, dan melaporkan tugas untuk membunuh I Gusti Ngurah Talabah telah berasil dengan gemilang. Tetapi Ki Capung yang merasa bangga karena keberasilannya untuk membunuh I Gusti Ngurah Talabah, menjadi terlalu sombong dan maora. Setiap bertemu siapa saja selalu menceritakan keberhasilannya. Ulah maora itu, di anggap sangat berbahaya oleh Rakryan Patih Pande Basa. Agar jangan sampai terbongkar Rakryan Patih Pande Basa berencana hendak membunuh Ki Capung. Tetapi itu semata-mata untuk menjaga rahasia Dalem Bekung.


              Dasar Rakryan Patih Pande Basa, akhli siasat dan wiweka, pada suatu malam Ki Capung di ajak bepergian oleh Rakryan Patih Pande Basa. Tiba-tiba di tengah jalan Rakryan Patih Pande Basa mengatakan kepada Ki Capung bahwa ada barang yang ketinggalan di purinya.  Akhirnya Ki Capung pun di perintahkan untuk mengambil barang yang ketinggalan di purinya. Pintu masuk sudah terkunci. Melihat pintu telah terkunci, Ki Capung lalu memanjat tembok puri. Pada saat Ki Capung berada di atas tembok, dia di tegur oleh pengawal puri Rakryan Patih Pande Basa. Kebetulan belum sempat menjawabnya. Tiba-tiba Ki Capung terjatuh ke dalam halaman puri. Tanpa ampun pengawal puri itu menombak Ki Capung, sampai tembus dadanya, dan mati seketika itu juga.


              Mendengar berita bahwa Ki Capung mati terbunuh di puri Rakryan Pande Basa, istrinya menjadi sangat sedih. Akibat muncung mulut istri Ki Capung, di balik kesedihan penyesalan itu, peristiwa ini lalu membuka tabir rahasia kematian I Gusti Ngurah Talabah, yang berkembang menjadi pembicaraan di berbagai tempat.


               Peristiwa ini juga sampai ke telinga I Gusti Kanca, putra I Gusti Ngurah Talabah. I Gusti Kanca segera manghadap dalem bekung ke puri swecapura, untuk memohon keterangan yang jelas tentang kematian ayahnya, yang juga membawa-bawa nama Rakryan Patih Pande Basa, seperti berita yang terbetik di masyarakat. I Gusti Kanca juga memohon kepada Dalem agar Rakryan Patih pande Basa, di sumpahi dengan mangambil hari candane, jika Rakryan Patih Pande Basa membantah membunuh pembunuhan ayahnya. Dalem Bekung pun memenuhi permohonan I Gusti Kanca. Kenyataan ini berarti bahwa Dalem tidak setia kepada janji yang telah diikrarkan bersama di Taman Warapsari.


               Tetapi Rakryan Pande Basa, setelah diberi tahu akan di sumpahi oleh Dalem Bekung, menolak untuk di sumpahi dalam kematian I Gusti Ngurah Talabah. Dalam usaha menegakan dharmeng ksatrya, resiko apa pun yang akan terjadi, dalam rangka melaksanakan tugas Negara. Dan mengangkat itu memang sudah merupakan ketetapan hati Rakryan Pande Basa, demi tegaknya dharmeng satrya dalam mengemban tugas Negara pada saat itu.


              Sebelum akan turun ke medan dalalaga untuknuntuk menunaikan dharmeng satrya, Rakryan Pande Basa memohon pamit kepada Ayahandanya, Rsi I Gusti Dauh Bale Agung. Saat mapamit pada ayahandanya, Rakryan Pande Basa mengemukakan secara rinci proses tugas yang berat dan sangat rahasia itu, sampai terbunuhnya I Gusti Ngurah TAlabah. Demikian prilaku Dalem Bekung yang ingkar janji. Menanggapi keterangan putranya. Lebih baik menunaikan dharmeng ksatrya di ujung keris dan di medan danalaga, dari pada melakukan sumpah (haricandana). Kalau yang gugur dalam medan pertempuran, saat menunaikan dharmeng ksatrya, subha-subha karmanya, adalah bagi mereka yang bersangkutan. Sedangkan kalau kena sumpah atau haricandana adalah sumpah tujuh turunan. Kalau disimak dan dikaji, betapa bijak dan mulai wejangan Rsi I Gusti Ngurah Dauh Bale agung, yang telah tua, dan berkedudukan sebagai rokhaniwan dan rakawi, yang benarkan sikap dan tindakan sang putra untuk mengangkat senjata, demi tegaknya dharmeng ksatrya, dalam hidup dan kehidupan.


              Belum usai pembicaraan dalam pertempuran putra, ayah dan kakiang, Warih Aryeng Kapakisan pada waktu itu, dari tempat pertempuran itu telah terdengan sorak-sorai musuh yang menggempur. Taman warapsari telah di kepung oleh pasukan musuh, gabungan pasukan I Gusti Ngurah Kanca, dengan pasukan di bawah pimpinan Kryan Abian Tubuh. Pasukan gabungan lawan Rakryan Patih Pande Basa, dipimpin oleh Kryan Manginte dan Kyan Pandarungan. Karena kekuatan tak seimbang, lagi pula Pasukan Rakyan Patih Pande Basa yang berada di sebelah timur tukad Unda, tidak dapat membantu karena dihalangi oleh banjir bandang. Dalam pertempuran seperti sagara capuh itu, akhirnya seluruh keluarga Rakyan Patih Pande Basa gugur sebagai ratna mutu manikam dalam perang puputan yang habis-habisan itu. Walaupun demikian demi tegaknya ajaran nsusatyeng ratu mwang susatyeng nagara, Bhagawan Rsi Dauh Bale Agung, yang mabhawantakepada Dang Hyang Nirartha,tetap juga menghadap Dalem Bekung kepuri setiap hari. Untuk memperingati gugurnyapara putra dan cucu-cucunya saat menunaikan dharmeng ksatrya, dalam medan danalaga, di hari tua Bhagawan Rsi I Gusti Dauh Bale Agung, sempat juga menulis karya sastra yang berjudul Arjuna Pralabda.


              Selain dari Bhagawan Rsi IGusti Dauh Bale Agung, yang masih hidup lagi adalah I Gusti Ayu Singharsa, istri I Gusti Biasama, yang sedang dalam keadaan hamil tua. I Gusti Ayu Singharsa adalah Putri, I Gusti Ngurah Sideman. Berkat perlindungan ayahandanya, I Gusti Ayu Singharsa yang sedang hamil tua itu, dapat terpelihara nyawanya, sehingga Warih Arya Kapakisan Dauh Bale Agung, tidak camput, pada era sekarang. Setelah I Gusti Ayu singharsa itu dapat di selamatkan oleh ayahandanya, pasukan kliktanem Gelgel, terus mengejar-ngejar dan menyelidiki tempat persembunyian I Gusti Ayu Singharsa. Untuk menghindari pasukan kliktanem Gelgel itu, I Gusti Ngurah Sideman, lalu menyembunyikan putrinya, di pegunungan di desa sibetan yang disebut kuncarasari atau pada era sekarang, lebih dikenal sebagai Bukit Buluh, yang menjadi lokasi Pura Garbha. Untuk mengawal dan menjaga keselamatan I Gusti Ayu Singharsa, I Gusti Ngurah Sideman menugaskan I Gede Abian Kulaleng dan I Gede Binder untuk menjagabya, karena amat di segani oleh masyarakat sekitar, disamping sangat berani juga memiliki keshaktian yang hebat.


              Setelah beberapa bulan I Gusti Ayu Singharsa berada di tempat persembunyiannya di kawasan kuncari (bukit buluh), dekat desa sibetan, yang dikawal oleh Gede Abian Kulaleng dan Gede Binder, tibalah saatnya I Gusti Ayu Singharsa untuk bersalin. Dari persalinannya itu lahirlah seorang putra yang gagah dan sempurna, yang abhiseka I Gusti Abian Nengah, karena wredhi di tanah abian yang sedang Nengah, miliki pengawalnya I Gede Abian Kulaleng dan Gede Binder, dua orang sakti yang suka menolong itu. Betapa bahagia hati I Gusti Ngurah Sideman, mendengar berita kelahiran cucunya pada waktu itu. Kebahagiaan sang kakek bertambah lagi, karena dengan kelahiran cucunya itu, akan merupakan satu-satunya cucunya yang akan menyambung warih, Bhagawan Rsi I Gusti Dauh Bale Agung, yang telah musnah dan hamper camput itu. Setelah I Gusti Abian Nengah dewasa, atas bantuan sang kakiang I Gusti Ngurah Sideman, I Gusti Abian Nengah di nobatkan sebagai penguasa Desa Sibetan. Upacara penobatan itu terjadi di sekitar tahun 1600 masehi, yang bertepatan di Hari Purnamaning Kapat, sehingga I Gusti Abian Nengah, juga abhiseka atau di panggil I Gusti Dauh Purnamaning Kapat. Sebagai penyambung warih Bhagawan Rsi I Gusti Dauh Bale Agung sampai sekarang.  


sumber : http://cockscomb-bona.blogspot.com/2011/11/babad-arya-dauh-bale-agung.html

1 komentar: