Definisi Kawitan beragam, ada yang mengatakan leluhur yang pertama kali datang di Bali atau lahir di Bali, tetapi ada pendapat kedua yang lebih moderat menyatakan bahwa Kawitan berakar dari kata wit artinya: asal mula, sehingga Kawitan manusia adalah Brahman atau Hyang Widhi.
Pendapat kedua ini dikesampingkan sehingga pengertian yang pertama menjadi lebih populer di masyarakat Hindu etnis Bali, walaupun dalam aplikasinya tidak konsisten.
Misalnya Sri Kesari Warmadewa dari Muangthai yang mula pertama datang di Bali tahun 913 M mempunyai keturunan bernama Airlangga. Selanjutnya beliau mengembangkan keturunan yang banyak antara lain Sirarya Kepakisan.
Kini di Bali tidak ada yang mengaku atau menyebut Kawitannya Kesari Warmadewa atau Kawitan Airlangga, tetapi ada Kawitan Arya Kepakisan.
Demikian pula selanjutnya, Arya Kepakisan yang mengembangkan banyak keturunan antara lain I Gusti Palengan diakui sebagai Kawitan oleh soroh “Peladung” dan cicitnya yang bernama I Gusti Penyarikan Dauh Bale Agung diakui sebagai Kawitan oleh soroh “Arya Dauh”.
Contoh lain yakni nama (bhiseka) Ida Dalem Sri Kresna Kepakisan yang datang di Bali tahun 1350 M tidak digunakan sebagai nama Kawitan oleh keturunan beliau, yang kini memilih menggunakan nama putra-putra beliau sebagai Kawitan, antara lain Dalem Samprangan, Dalem Tarukan, dan Dalem Sagening.
Demikian banyaknya ragam versi Kawitan sehingga di Bali dewasa ini ada puluhan nama-nama soroh.
Soroh dalam lingkup kecil disebut Dadia yang biasanya mempunyai Sanggah Pamerajan khusus. Dadia bertujuan mempererat tali persaudaraan atau pasemetonan, selain untuk kepentingan ritual dalam aspek pemujaan leluhur.
Dalam lingkup yang lebih besar misalnya kesukuan Bali, soroh sering menimbulkan perpecahan bila warga soroh satu dengan yang lainnya tidak saling menghargai dan menghormati.
Lebih-lebih bila sejarah leluhur di masa silam diungkit-ungkit kembali dengan fanatisme berlebihan sehingga timbul semacam “kelas-kelas” di mana masing-masing menganggap kelasnya lebih tinggi dari yang lain.
Yang merasa kelasnya lebih tinggi, memandang soroh yang lain sebagai parekan atau hambanya, padahal mungkin dahulu leluhur-leluhur mereka bersaudara kandung.
Fanatisme soroh sering pula menimbulkan perseteruan bahkan permusuhan. Suatu ketika di sebuah Desa di Buleleng ada kelompok soroh yang disebut Dadia “X”. Entah apa sebabnya beberapa kepala keluarga tiba-tiba menyatakan bahwa kawitan mereka bukan “X” tetapi “Y”.
Dadia yang terdiri dari puluhan kepala keluarga itupun pecah. Ada yang tetap bertahan sebagai kawitan X dan ada yang ikut kawitan baru Y. Perseteruan tidak dapat diselesaikan bertahun-tahun. Akhirnya diadakan musyawarah dan Sanggah Pamerajan-pun dibagi-bagi dengan pembatas tembok.
Masing-masing lalu membangun kembali Sanggah baru. Hubungan kekeluargaan yang terjalin bertahun-tahun putus, tidak mengaku bersaudara, tidak mesidi-kara (tidak saling menyembah atau tidak turut terkena cuntaka) kendatipun ayah dan ibu kandung mereka sama.
Ceritra “lucu” masih banyak. Ada beberapa keluarga dari Dadia “A” karena merasa nasib/ kehidupannya semakin buruk pergi ke balian (dukun) bertanya di niskala (alam tidak nyata) kenapa gerangan mereka ditimpa kemalangan bertubi-tubi.
Si dukun merem-melek menyatakan dirinya kerawuhan (intrance) roh leluhur mereka seraya dengan sedih menasihati cucu-cicitnya bahwa Kawitan mereka bukan soroh “A” tetapi soroh “B”.
Tercengang dan berbesar hati, mereka mengajak saudara-saudaranya yang lain untuk percaya pada wejangan leluhur melalui si dukun. Tidak semuanya setuju, sehingga Dadia itu pecah.
Dalam kasus ini Sanggah Pamerajan tidak dibagi-bagi, tetap utuh namun “aneh” karena mempunyai dua hari piodalan yang diselenggarakan oleh masing-masing kelompok, yaitu piodalan Bhatara Kawitan A di hari Anggara Prangbakat , dan piodalan Bhatara Kawitan B di hari Buda Wage Klawu.
Kawitan A dan B yang dihaturi piodalan distanakan di pelinggih yang sama, yaitu meru tumpang tiga.
Masih ada lagi ceritra yang lebih lucu. Ceritra awalnya sama seperti kasus di atas, di mana dua saudara kandung masing-masing memilih kawitan yang berbeda.
Si kakak ingin melaksanakan upacara Pitra Yadnya bagi ayahnya yang sudah lama meninggal dunia. Tentu saja ia menggunakan tata-cara menurut keyakinan kawitannya, sebut saja kawitan “C”.
Beberapa bulan kemudian si adik ingin pula menunaikan kewajiban bhakti pada ayahnya lalu melaksanakan upacara Pitra Yadnya menurut keyakinan kawitan lain, sebut saja “D”. Nah bagaimana mungkin satu arwah di-aben dua kali dan dengan tata-laksana atribut soroh yang berbeda pula?
Kesibukan orang-orang Bali mencari identitas soroh terlihat sejak tahun 1960, menjelang upacara Eka Dasa Rudra yang diselenggarakan di Pura Besakih tahun 1963.
Pemerintah Daerah Bali mengumumkan kepada rakyat agar mengadakan upacara Pitra Yadnya bagi leluhur mereka sehingga menjelang Eka Dasa Rudra kuburan-kuburan bersih dari dengkot (mayat yang ditanam).
Kebersihan kuburan ini perlu untuk menjaga kesucian jagad Bali. Ketika itu banyak orang yang tidak tahu apa soroh-nya, terutama umat Hindu di Buleleng, karena dahulu di kala leluhurnya bermigrasi dari Bali Selatan sengaja menghilangkan identitas soroh mereka dengan berbagai alasan, antara lain keselamatan jiwa dari ancaman hukuman raja.
Untuk upacara Pitra Yadnya (ngaben) identitas soroh sangat perlu, karena salah satu sarana upacara yang bernama kajang memang berbeda bagi setiap soroh. Mereka yang kemudian menemukan sorohnya melalui jasa dukun saling berhubungan dengan orang yang se-soroh untuk membentuk paguyuban.
Organisasi ini kemudian berkembang menjadi wadah yang efektif untuk membina kerukunan dan menjalinan semangat kekeluargaan. Beberapa soroh tertentu ada yang mendirikan yayasan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan warganya.
Ada pula yang mengusahakan upacara diksa bagi warganya yang mampu menjadi sulinggih (pendeta), sehingga sejak masa itulah adanya gelar-gelar sulinggih selain Pedanda.
Ada tokoh politik yang “jeli” melihat potensi paguyuban soroh yang mempunyai massa banyak, kemudian memanfaatkan soroh untuk jalur kampanye. Media-pun ramai dengan berita menjelang Pilkada di Bali, karena organisasi diselewengkan dari azas pendirian semula.
Memang benar, paguyuban soroh mestinya jangan dicampuri permainan politik, karena jika demikian rakyat Bali akan semakin terpecah-belah dengan berbagai dampak negatif.
Lebih jauh lagi hendaknya fanatisme soroh tidak perlu dikembangkan, karena dapat mengarahkan umat Hindu jauh dari tujuan agama yang utama yakni membina kasih sayang pada sesama mahluk ciptaan Hyang Widhi.
sumber : http://stitidharma.org/soroh/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar